TANJUNG SELOR – Provinsi Kalimantan Utara terus mengembangkan pendekatan berkelanjutan dalam pengelolaan hutan dan pemanfaatan karbon, terutama dari ekosistem hutan mangrove yang luas.
Saat ini, Dinas Kehutanan Kaltara masih dalam tahap perhitungan potensi serapan karbon. Yang dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari skema perdagangan karbon dan pelestarian lingkungan.
“Masih dihitung berapa juta ton karbon yang bisa diikat dari kawasan hutan kita. Itu tergantung dari jenis vegetasinya, karena tiap jenis pohon memiliki kapasitas serapan karbon yang berbeda,” ujar Kepala Bidang Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan Dinas Kehutanan Kaltara Nustam, Selasa (13/5).
Menurutnya, dari berbagai jenis vegetasi, hutan mangrove merupakan penyerap karbon paling kuat. Terutama jenis seperti bakau, api-api, dan berus. Oleh karena itu, mangrove menjadi andalan utama dalam upaya pemanfaatan karbon di wilayah Kaltara.
“Kita punya mangrove yang sangat luas, sekitar 348 ribu hektare. Dan itu tersebar baik di dalam kawasan hutan lindung maupun di luar kawasan hutan. Inilah yang sedang kami dorong untuk masuk dalam skema pemanfaatan karbon dan perhutanan sosial,” jelasnya.
Salah satu pendekatan yang tengah dikembangkan Dinas Kehutanan Kaltara, kolaborasi antara pelestarian mangrove dengan pemanfaatan tambak, melalui skema silvofishery. Konsep ini menggabungkan fungsi ekologi hutan mangrove dengan kegiatan budidaya perikanan yang tetap ramah lingkungan.
“Banyak tambak kita yang ada di dalam kawasan mangrove. Kita berusaha menjangkau mereka dengan skema perhutanan sosial. Jadi masyarakat tetap bisa mengelola, tapi tetap menjaga kelestarian ekosistemnya,” kata Nustam.
Skema ini memungkinkan petambak tetap melakukan kegiatan produktif seperti budidaya ikan dan udang. Namun dengan pendekatan ekologi yang menjaga keseimbangan. Mangrove yang dipertahankan atau direhabilitasi di sekitar tambak akan menciptakan siklus alami, menyediakan makanan alami, serta meningkatkan produktivitas tambak tanpa merusak lingkungan.
“Kondisi tambak kita sekarang banyak yang terbuka dan tidak produktif. Dengan pendekatan potiseri, justru muncul siklus alami yang menguntungkan ikan dan udang bisa memanfaatkan rantai makanan alami yang terbentuk dari hutan mangrove di sekitarnya,” ungkapnya.
Beberapa kawasan bekas tambak di wilayah hutan mangrove saat ini sudah mendapatkan persetujuan perhutanan sosial dan sedang dalam tahap pendampingan oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan tim Dinas Kehutanan. Program ini akan dikembangkan lebih luas sebagai upaya menjaga fungsi hutan, meningkatkan serapan karbon. Sekaligus memberi nilai tambah ekonomi kepada masyarakat pesisir.
“Rehabilitasi dan pembinaan sedang dilakukan oleh tim kami di lapangan bersama KPH. Kita ingin memastikan fungsi kelestarian terjaga, tapi masyarakat juga tetap dapat manfaat ekonominya,” pungkasnya. (kn-2)