TANJUNG SELOR – Penolakan terhadap program transmigrasi dari luar daerah kembali mencuat di Kalimantan Utara. Aliansi Masyarakat Adat Asli Kalimantan Utara menyatakan sikap tegas melalui aksi damai di depan Kantor Gubernur Kaltara, Senin (4/8).
Pantauan media ini, sejumlah lembaga adat dari tiga suku asli di Kaltara yakni Dayak, Tidung dan Bulungan berorasi secara bergantian. Menuntut hak tanah mereka di Kaltara yang diberikan kepada para transmigran dari luar Kaltara.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Asli Kaltara Agustinus Amos menerangkan, aksi ini digelar sebagai bentuk kekecewaan terhadap kebijakan Pemerintah Pusat yang dinilai belum berpihak kepada masyarakat lokal.
Aliansi Masyarakat Adat Asli Kaltara menyampaikan tiga poin utama. Pertama, menolak keras program transmigrasi dari luar Kaltara.
“Kami menilai kebijakan mendatangkan transmigran dari luar hanya akan menambah beban sosial dan mempersempit ruang hidup masyarakat adat, yang telah lama tinggal dan menggantungkan hidupnya dari sumber daya lokal,” bebernya.
Kedua, meminta pemerintah lebih dulu memperhatikan kesejahteraan masyarakat adat lokal. Aliansi menekankan pentingnya memprioritaskan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat lokal sebelum menerima warga dari luar daerah. Terakhir, mendukung penuh gugatan terhadap Undang-Undang Transmigrasi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kami menilai UU Transmigrasi perlu ditinjau Kembali. Karena dianggap tidak memberikan perlindungan yang cukup bagi masyarakat adat di daerah tujuan transmigrasi, terutama di Kalimantan,” jelasnya.
Melalui aksi ini, aliansi berharap suara mereka bisa didengar secara lebih luas, baik oleh pemerintah provinsi maupun pusat. Mereka menekankan Kaltara bukanlah “tanah kosong”, yang bisa dijadikan lokasi transmigrasi tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat asli dan lingkungan hidup.
“Ini menjadi ketimpangan pembangunan antar wilayah,” ujarnya.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltara menegaskan tidak akan menerima program transmigrasi baru yang berasal dari luar daerah. Fokus utama pemerintah saat ini menyelesaikan dan memaksimalkan pembangunan bagi warga transmigrasi yang sudah ada. Terutama menyangkut infrastruktur dan akses pertanian.
“Sudah jelas, beberapa daerah di Kaltara menolak adanya transmigrasi baru. Setiap ketua menteri daerah asal juga menyampaikan mereka tidak akan mengirim transmigran ke wilayah yang tidak menyatakan kesediaan menerima,” ujar Wakil Gubernur Kaltara Ingkong Ala.
Salah satu alasannya keterbatasan kemampuan pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Transmigran yang sudah ada saat ini belum sepenuhnya mendapatkan perhatian maksimal. Masih banyak kebutuhan dasar mereka. Terutama pembangunan infrastruktur jalan dan pengembangan lahan pertanian, yang belum tuntas.
Ia menambahkan, persoalan transportasi hasil pertanian menjadi hambatan utama bagi transmigran dalam memasarkan produk mereka ke luar daerah.
“Kalau infrastruktur tidak dibangun, meskipun hasil sawah dan kebunnya ada, harga jualnya tidak kompetitif karena tingginya biaya angkut,” ungkapnya.
Pemerintah Provinsi juga memastikan tidak akan menghambat transmigrasi local. Namun tetap dengan prinsip selektif dan menyesuaikan kapasitas daerah. Transmigrasi yang sudah ada, termasuk yang berasal dari program tahun 1970-an dan 2019, tetap menjadi bagian dari masyarakat Kaltara.
“Siapa pun yang sudah berada di sini dan menjadi bagian dari warga. Mereka adalah masyarakat Kaltara. Mereka punya hak yang sama dan tidak boleh dibeda-bedakan,” tegasnya.
Terkait keluhan sebagian transmigran yang merasa dianaktirikan, pihak pemprov menjelaskan sejak awal program ini merupakan kerja sama antara pemerintah daerah asal dan daerah tujuan. Pemprov Kaltara hanya menyediakan lahan dan fasilitas dasar. Sementara jaminan hidup 12–18 bulan menjadi tanggung jawab pemerintah asal.
“Kami di daerah hanya memfasilitasi lahan dan bertahap membangun infrastruktur yang dibutuhkan. Bukan berarti tidak peduli, tapi kami juga terbatas,” imbuhnya.
Pemprov Kaltara juga menegaskan tidak akan menerima program transmigrasi baru ke depannya. Jika ada kabupaten/kota yang tetap ingin menerima, maka tanggung jawab akan sepenuhnya berada di tangan pemerintah daerah tersebut.
“Yang sudah masuk, sudah jadi warga kita. Tapi untuk program baru, kita sepakat hentikan dulu. Kita ingin benahi dulu yang sudah ada,” terangnya.
Sebagai solusi atas kebutuhan hunian dan lahan warga lokal, pemprov juga mendorong program transmigrasi lokal dengan mengutamakan masyarakat yang belum memiliki rumah atau lahan sendiri.
“Banyak warga di desa yang hidup berdesakan dalam satu rumah. Kita dorong agar mereka bisa mandiri melalui program seperti ini,” pungkasnya. (kn-2)