Pemanfaatan Kayu Legal Belum Optimal

KEHUTANAN: Penyediaan kayu legal bagi masyarakat masih menemui sejumlah kendala.

TANJUNG SELOR – Ketersediaan kayu legal bagi masyarakat di Kalimantan Utara (Kaltara) sejatinya telah diatur dalam regulasi kehutanan nasional. Namun, implementasinya di lapangan hingga kini masih belum berjalan optimal.

Hal ini disampaikan Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Dinas Kehutanan (Dishut) Kaltara, Maryanto. Menurutnya, perusahaan yang memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IUPH) atau kini dikenal sebagai Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), memiliki kewajiban untuk menyediakan kayu bagi kebutuhan lokal.

“Sesuai aturan, sekitar 5 persen dari total jatah produksi perusahaan harus dialokasikan. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di sekitar wilayah operasional,” ujar Maryanto, belum lama ini.

Baca Juga  Atlet Dansa Ikut Turnamen Internasional

Kayu yang disalurkan untuk kebutuhan lokal ini dapat digunakan oleh masyarakat untuk berbagai kepentingan. Seperti pembangunan rumah pribadi maupun fasilitas umum semisal sekolah, balai desa, dan tempat ibadah.

“Idealnya, kayu dari PBPH ini bisa memberikan solusi bagi masyarakat yang membutuhkan bahan bangunan secara legal dan berkelanjutan,” lanjutnya.

Sayangnya, skema penyediaan kayu legal bagi masyarakat masih menemui sejumlah kendala. Salah satu hambatan utama, belum adanya mekanisme yang memudahkan masyarakat untuk membeli kayu dari PBPH secara langsung.

Baca Juga  Pembangunan Gedung Kanwil DJPb Kaltara Tahap Kedua Proses Lelang

“Masyarakat bisa membeli dari perusahaan pemegang izin, tetapi pada praktiknya harus membeli dalam jumlah besar. Selain itu, harganya juga relatif tinggi karena perusahaan harus membayar berbagai pungutan resmi seperti Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH),” jelas Maryanto.

Kondisi ini menciptakan celah kesenjangan antara ketersediaan kayu legal dan daya beli masyarakat. Akibatnya, pemanfaatan skema 5 persen untuk kebutuhan lokal belum memberikan dampak signifikan. Masyarakat, yang seharusnya mendapat manfaat dari kebijakan ini, justru masih kesulitan untuk mengakses bahan kayu yang legal dan terjangkau.

Baca Juga  Industri Wastra Diharap Dongkrak Perekonomian

“Dari sisi regulasi sudah jelas, tapi tantangan kita sekarang bagaimana membuat sistem distribusi dan transaksi yang lebih ramah bagi masyarakat. Jangan sampai masyarakat malah memilih opsi ilegal karena prosedur yang resmi terlalu rumit atau mahal,” ujarnya.

Maryanto menekankan, dibutuhkan terobosan dalam sistem tata niaga kayu legal agar lebih inklusif dan berpihak pada masyarakat. Misalnya dengan membentuk koperasi pengguna kayu, skema subsidi untuk pembelian, atau kemitraan antara masyarakat dan perusahaan PBPH. (kn-2)

Bagikan:

Berita Terkini